PDM Kabupaten Tegal - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Tegal
.: Home > Berita > Refleksi Milad: Ikhlas dan Sederhana Jubah Kiai Ahmad Dahlan

Homepage

Refleksi Milad: Ikhlas dan Sederhana Jubah Kiai Ahmad Dahlan

Jum'at, 09-09-2016
Dibaca: 794

Oleh : Arip Hidayat, S.E.I (Manager BTM Artha Surya & pengasuh PAY Hj. Zaenab Masykuri)

 

 

Menurut perhitungan tahun Hijriyah, tepat pada hari Sabtu 10 September 2016 atau 8 Dzulhijah 1437, usia Muhammadiyah genap 107 tahun. Usia yang terbilang tua dibanding dengan keberadaan NKRI dan ormas-ormas Islam lainnya. Perjalanan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi gerakan Islam terus bergerak menapaki zaman. Seakan tak lekang oleh waktu, Muhammadiyah terus bergerak untuk mendidik umat dan bangsa, memperjuangkan kemerdekaan sekaligus mengawal Negara pasca kemerdekaan. Lewat berbagai amal usaha dan para kesatrianya, Muhammadiyah menebar manfaat untuk umat manusia. Ibarat buah dan pohonnya, Muhammadiyah adalah “buah” yang dirindukan sejak lama. Buah yang tumbuh dari hasil perkawinan berbagai “varietas unggulan” kemudian distek menjadi satu pohon. Tapi apakah tuan dan puan tahu apa varietas unggulan pohon Muhammadiyah?.

 

Pertama adalah keikhlasan pendirinya. Ikhlas dalam definisi agama adalah melakukan perbuatan dengan maksud taat pada-Nya dan hanya mengharap ridho-Nya. Ikhlas adalah salah satu unsur Muhammadiyah tetap ada, maju dan bertahan hingga sekarang. Banyak organisasi yang lahir semasa dengan Muhammadiyah tapi nasibnya kini tinggal nama dan sejarahnya tersimpan dalam museum. Hal ini karena organisasi didirikan bukan atas dasar keihklasan tapi persaingan, politik dan lainnya. Berbeda dengan Muhammadiyah. Kyai Dahlan sebagai pendiri adalah seorang mukhlis sejati. Ulama yang betul-betul ihklas dengan rela melelang seluruh barang-barang perabotan rumah dan pakaian, sisa dari hartanya demi membesarkan sekolah Muhammadiyah waktu itu. Sebuah tauladan yang membuat santri-santrinya haru meneteskan air mata. Dalam kacamata kaum sufi, tindakan Kyai Dahlan dalam merintis dan membangun Muhammadiyah telah mencapai maqam muroqqobah. Sebuah tingkatan dalam beribadah dan berbuat pelaku sangat merasa diawasi oleh-Nya. Sehingga pujian, hinaan, makian yang merupakan penilaian makhluk tak berarti apa pun. Bahkan harta dan nyawa pun akan dikorbankan. Sungguh nilai tauladan luar biasa. Al-Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya sebuah hadits, jawaban Rasulullah SAW ketika ditanya oleh Jibril a.s tentang ihksan. Beliau bersabda “anta’buda-llaha ka annaka tarohu, fa inlam takun tarohu fa innahu yaroka”(beribadahlah kamu seakan melihat-Nya, maka apabila kamu tidak melihatnya sungguh Dia melihatmu).

 

Varietas unggulan kedua adalah kesederhanaan. Sederhana dalam bahasa Al-Qur’an Al-Baqarah: 143 adalah wasathan (pertengahan) dan ‘adil (tidak berlaku zhalim, menempatkan sesuatu sesuai tempatnya). Murut pandangan ahli tafsir ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat pertengahan dan adil. Bukan seperti umat yahudi yang dzalim menentang dan membunuh banyak para Nabi. Bukan bula seperti nashrani yang sesat menyelewengkan ajaran Injil dan menganggap Isa a.s putera Allah Swt. Oleh karena itu lanjutan ayat menerangkan bahwa umat Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebagaimana riwayat bahwa pada hari penghakiman nanti para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw akan ditanya oleh Allah Swt. Apakah kalian telah menyampaikan risalah/agama kepada umatmu?. Kami telah menyampaikannya, jawab mereka. Adakah saksinya?. Ya.. umat Muhammad lah saksinya.

 

Dalam konteks ekonomi sederhana bukan berarti miskin. Sederhana sesuai dengan kebutuhan dan keperluan. Bukan sesuai dengan keinginan tiada batas. Bila tuan dan puan menempuh perjalanan dari Tegal ke Jakarta dengan berjalan kaki atau manaiki becak itu bukan sikap sederhana, tapi bunuh diri. Tapi bila anda berkendara bus atau mobil pribadi itulah sederhana, sesuai kebutuhan. Dalam bahasa tasawuf dan terminologi kaum sufi sederhana adalah zuhud, pelakunya disebut zahid. Zuhud bukan berarti meninggalkan keduniawiyan. Akan tetapi dunia hanya cukup sampai tangan tidak masuk ke hati. Bila tuan dan puan kehilangan sandal sampai sakit hati berhari-hari berarti tuan dan puan belum berperilaku zuhud dan bukan seorang zahid, karena kecintaan kepada sandal (harta/dunia) sudah masuk ke dalam hati. Rupanya zuhud adalah jubah pendiri Muhammadiyah dan tokoh-tokoh penerusnya. Maka tidak heran bila ketua PP Muhammadiyah terlama, KH. AR. Fachruddin adalah orang mukhlis dan zahid walau beliau punya kesempatan untuk menumpuk harta karena pengaruh dan jabatannya memimpin Muhammadiyah selama 22 tahun. Tapi sampai akhir hayat beliau miskin.

 

Ikhlas-sederhana di tengah kemajuan modernitas

 

Mungkin benak kita bertanya, konteks ikhlas-sederhana di atas ada di masa kondisi Muhammadiyah masih dalam tahap perintisan. Lalu bagaimana konsep sederhana bagi kesatria dan pejuang Muhammadiyah saat ini, dimana amal usaha Muhammadiyah begitu besar dalam mengelola keuangannya. Ikhlas dan sederhana dalam kajian manajemen modern adalah professional dan proporsional. Bila tuan dan puan adalah pengurus ranting atau cabang setempat maka Muhammadiyah akan memberi kesempatan kepada anda untuk menjadi guru, karyawan rumah sakit, pengelola BTM/BMT, dosen, atau pengelola AUM lainnya. Profesionalitas (keahlian/tugas mengelola) di AUM akan mendapat reward/gaji secara proporsional (seimbang dan pantas). Tapi ketika profesionalitas anda sudah dihargai secara proporsional dan anda masih menumpuk harta dengan korupsi dan penggelapan dana, berarti anda tidak ikhlas dan sederhana. Bukan mukhlis dan zahid. Tapi penumpuk yang rakus harta. Bila anda sebagai pengurus Muhammadiyah/AUM dan suatu saat menghadiri undangan membutuhkan uang transport Rp. 200.000 pasti Muhammadiyah akan memberi untuk profesionalitas anda. Tapi jika anda “menumpuk uang” transport menjadi Rp. 500.000 dengan cara penggelembungan dana untuk mendapat “penghasilan lain”. Itu tidaklah proporsional karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan keperluan. Kembalikanlah sisanya. Gambaran terakhir ini saya dapatkan dari nasihat dua orang guru, KH. Agus Trijazuli, dan beliau al-Ustadz H. Arief Azman. S.E.

 

Pada usia Muhammadiyah ke-107 ini, semoga “jubah” Kyai Dahlan selalu kita kenakan di tengah kemajuan Muhammadiyah yang semakin berkembang. (MF)

 

 


Tags: refleksi milad
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: artikel



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website